Catatan Sejarah Tokoh Kelahiran Sumatera Barat pada 5 Maret
Sutan Sjahrir (Foto: Istimewa)

Bagikan:

SUMATERA BARAT – Dalam literatur sejarah Indonesia, tanggal 5 Maret 1909 dicatat sebagai hari kelahiran Sutan Sjahrir, tokoh yang menjadi langganan penjara Belanda pada zaman pergerakan kemerdekaan. Ia kemudian menjadi perdana menteri, menyumbang gagasan politik bebas aktif dan merupakan ujung tombak diplomasi Indonesia di awal kemerdekaan. Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat.

“Sjahrir lahir di perumahan jaksa di Air Mata Kucing, jalan utama kota itu,” tulis Rudolf Mrazek dalam biografi “Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia” (1996).

Ibunda Sjahrir, yang bernama Poetri Siti Rabiah memiliki darah campuran Minang-Natal. Sementara ayahnya, Mohammad Rasad yang memiliki gelar Maharadja Soetan adalah seorang jaksa, putra asli Kotogadang, Agam.

Adik dari pahlawan emansipasi dan jurnalis perempuan pertama

Dari isteri pertamanya yang asli Kotogadang, Ayah Sjahrir memiliki enam anak. Roehana Koeddoes adalah yang paling sulung. Dengan demikian, Sjahrir merupakan adik (satu ayah) dari pahlawan nasional pejuang emansipasi dan juga jurnalis perempuan Indonesia pertama tersebut. Sementara itu, Haji Agus Salim merupakan sepupu dari ayah Sjahrir.

Karena penugasan seorang jaksa sering berpindah-pindah, Sjahrir pun hanya dua tahun di Padang Panjang. Ia ikut pindah dengan ayahnya ke Jambi dan kemudian ke Medan, saat Sjahrir memasuki usia sekolah.

Pada tahun 1915, di usia enam tahun, Sjahrir masuk ke sekolah terbaik yang ada di Medan: Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Rendah Eropa. Ia selanjutnya melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijd (MULO) atau sekolah Dasar Lanjutan.

Selepas dari MULO, Sjahrir muda melanjutkan ke sekolah menengah umum AMS di Bandung. Di Bandung itulah nasionalisme dalam dirinya makin terpupuk dan bertumbuh.

“Dia lulus pada Mei dan rantaunya akan segera melebar lagi. Pada bulan Juni 1929, Sjahrir mengepak pakaian,” tulis Mrazek.

Bertemu Hatta

Sjahrir berangkat ke Belanda pada musim panas 1929. Di sanalah ia bertemu dengan Bung Hatta yang saat itu menjabat sebagai Ketua Organisasi Perhimpoenan Indonesia. Persahabatannya dengan Hatta berumur panjang. Sepulang ke Tanah Air pada 1931, Sjahrir dipercaya menjadi Ketua Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Pendidikan), sebelum akhirnya digantikan Hatta pada tahun 1932.

Pada 1935, keduanya bahkan dibuang ke Boven Digul, Papua, sebelum dipindahkan ke Banda Neira. Selama tujuh tahun, Hatta dan Sjahrir di Banda mengisi waktu luang dengan mengajar, menulis dan membaca.

Keduanya baru bebas pada 1942 menjelang Jepang masuk.

Diplomat ulung

Di awal kemerdekaan, Sjahrir dipercaya mendampingi Sukarno-Hatta sebagai perdana menteri. Ia menjadi ujung tombak pemerintah dalam berdiplomasi dengan Belanda. Salah satu hasil perundingannya adalah perjanjian Linggarjati.

Sjahrir juga yang pertama menggagas ide politik bebas aktif. Gagasan itu disampaikannya saat berpidato dalam “Inter-Asian Relations Conference” pada 2 April 1947, di New Delhi, India. Sjahrir, mengajak sesama Bangsa Asia untuk menjauhkan diri dan tidak menjadi bagian dari dua blok yang bersengketa. Ia pula yang pertama menyemai benih politik bebas aktif dan non-blok. Kebijakan yang kemudian menjadi arah politik luar negeri Indonesia.

Namun, setelah tak lagi menduduki jabatan di pemerintahan, Sjahrir disingkirkan. Ia ditangkap pada 1962 dengan alasan yang tak logis hingga membuatnya sakit dan meninggal dalam status tahanan pada 1966. Saat Sjahrir meninggal, Presiden Soekarno buru-buru memberinya gelar sebagai pahlawan nasional.

Ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!